Jumat, 22 September 2017

SENYAWA KATEKIN SEBAGAI HERBAL DRUG

A. Tanaman Penghasil Katekin Tanaman teh adalah salah satu penghasil katekin sebagai metabolit sekundernya dengan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Guttiferales Famili : Theaceae Genus : Camellia Spesies : Camellia sinensis L. (Effendi dkk.,2010). Kandungan kimiawi teh hijau sama seperti yang terkandung dalam daun teh segar, yaitu senyawa polifenol (flavonol, flavanol, flavone, flavavone, isoflavone, antocyanin), teofilin, teobromin, vitamin C, vitamin E, vitamin B kompleks, serta sejumlah mineral seperti fluor, fosfor, kalsium, stronsium, Fe, Zn, Mg, dan Mo. Polifenol yang paling banyak ditemukan dalam teh hijau adalah flavanol, yaitu katekin. Katekin dalam teh hijau terdiri atas epigallocatechin-3-gallate (EGCG), epigallatocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG), dan epicatechin (EC). B. Jalur Metabolisme Katekin Jalur biosintesis dari katekin bisa dilihat dari jalur sintesisnya pada daun teh hijau, senyawa katekin tersintesis melalui jalur asam malnik dan asam sikimik sedangkan asam galik diturunkan dari suatu produk antara yang diproduksi dalam jalur metabolik asam sikimik (Syah, 2006). C. Perbedaan Dasar Dari Sifat-Sifat Berbagai Kelas Senyawa Fitokimia Alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif yang telah diteliti memiliki aktivasi hipoglikemik (Ivorra et al., 1989 dalam Fikri, 2013). Flavonoid dapat menghambat kerja enzim α-glukosidase dalam luteolin (Kim dan Sura, 2000 dalam Fikri,2013). D. Fungsi Adaptif Katekin Flavonoid merupakan senyawa metabolit tumbuhan yang sangat melimpah di alam. Fungsi senyawa flavonoid sangatlah penting bagi tanaman pada pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi tersebut seperti penarik perhatian hewan pada proses penyerbukan dan penyebaran benih, stimulan fiksasi nitrogen pada bakteri Rhizobium, peningkat pertumbuhan tabung serbuk sari, serta resorpsi nutrisi dan mineral dari proses penuaan daun.senyawa flavonoid juga dipercaya memiliki kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivora dan penyebab penyakit, serta senyawa ini membentuk dasar untuk melakukan interaksi alelopati antar tanaman (Sarasawati, 2015). E. Fungsi Farmakologi Katekin Catechins yang terkandung dalam teh hijau dapat bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung konsentrasinya. Sebagai senyawa fenol, catechins dapat bekerja dengan cara merusak dinding sel bakteri dan membran sitoplasmanya sehingga menyebabkan denaturasi protein. Teh hijau mempunyai fungsi ganda yaitu kandungan catechins yang mempunyai daya antimikroba terhadap Streptococcus mutans dan fluor merupakan komponen anorganik yang dapat memperkuat struktur gigi (Saraswati, 2015). DAFTAR PUSTAKA Effendi, Dedi Soleh. 2010. Budidaya Dan Pasca Panen Teh. Bogor. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian,Kementerian Pertanian. Syah, A.N.A. 2006. Taklukan Penyakit Dengan Teh Hijau. PT.Agromedia Pustaka. Fikri K. 2013. Pengaruh Ekstrak Kasar Daun Tapak Dara (Catharanthus Roseus) Terhadap Proses Pembelahan Sel Spermatosit Primer Belalang Sebagai Bahan Ajar Matakuliah Biologi Sel, Seminar nasional ilmiah FMIPA 31 Maret 2013 Universitas jember. Saraswati,A. 2015. Efektivitas Ekstrak Daun Teh Hijau (Camellia Sinensis) Dengan NaOCl 2,5% Terhadap Bakteri Enterecoccus Faecalis Sebagai alternatif Larutan Irigasi Saluran Akar. Makasar. Universitas hasannudin.

PEMBAHASAN HIDROLISA PATI

Hidrolisa Pati secara Kimiawi Percobaan Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan cara hidrolisis dengan katalis asam, kombinasi asam dengan enzim serta kombinasi enzim dengan enzim. Praktikum ini dilakukan hidrolisa pati secara kimiawi dengan menggunakan sampel pati 1% dan katalis asam klorida pekat. Katalis asam klorida akan memecah molekul pati secara acak dan gula yang dihasilkan sebagian besar adalah gula pereduksi. Katalisator yang biasa di gunakan selain asam klorida adalah berupa asam, yaitu asam sulfat, asam sulfit, asam nitrat, atau yang lainnya. Makin banyak asam yang di pakai sebagai katalisator, makin cepat jalannya reaksi hidrolisa. Penggunaan katalisator dengan konsentrasi kecil (larutan encer) lebih disukai karena akan memudahkan pencampuran sehingga reaksi dapat berjalan merata dan efektif. Penggunaan konsentrasi katalisator yang kecil dapat mengurangi kecepatan reaksi. Namun hal ini dapat diatasi dengan menaikkan suhu reaksi (Jayanti, 2011). Kenaikan suhu reaksi didapat dari campuran pati dan katalis yang diletakkan di waterbath. Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang di hasilkan. Hal ini disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbukan dan bereaksi semakin besar, sehingga konversi yang di hasilkan semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan mengamati proses hidrolisa pati dengan uji iodin dan uji benedict. Larutan campuran pati dan katalis diamati setiap 5 menit untuk mengamati proses hidrolisanya. Uji benedict dilakukan dengan Sembilan buah tabung reaksi diisi dengan campuran pati dan katalis (sampel diambil setiap 5 menit) lalu ditambahkan pereaksi benedict sebanyak 5 mL kemudian dipanaskan dalam waterbath air mendidih dan diamati perubahan warnanya. Sebanyak 9 buah tabung yang berisi larutan campuran dan katalis yang diamati dengan penambahan pereaksi benedict didapatkan warna biru sebelum pemanasan, tetap berwarna biru setelah pemanasan dan berwarna biru setelah didinginkan. Karbohidrat ada yang bersifat gula pereduksi dan bukan gula pereduksi. Sifat gula pereduksi ini disebabkan adanya gugus aldehid dan gugus keton yang bebas, sehingga dapat mereduksi ion-ion logam seperti tembaga (Cu) dan perak (Ag) dalam larutan basa. Dalam larutan Benedict yang terbuat dari campuran CuSO4, NaOH dan Na sitrat, gula tersebut akan mereduksi Cu2+yang berupa Cu(OH)2 menjadi Cu+ sebagai CuOH selanjutnya menjadi Cu2O yang tidak larut, berwarna kuning atau merah. Pada saat yang bersamaan gula pereduksi akan teroksidasi, berfragmentasi dan berpolimerisasi dalam larutan Benedict. Gugus aldehid pada aldoheksosa mudah teroksidasi menjadi asam karboksilat pada pH netral oleh zat pengoksidasi atau enzim. Jadi pati yang dihidrolisa pada praktikum kali ini adalah karbohidrat yang bersifat bukan gula pereduksi. Selanjutnya dilakukan uji kedua yaitu uji iodin. Pengujian dilakukan pada plat tetes dengan mengambil satu tetes larutan campuran pati dan katalis (sampel diambil setiap 5 menit) kemudian dicampurkan dengan satu tetes larutan iodin. Larutan sampel diasamkan dengan HCl kemudian ditambah iodin dalam larutan KI. Warna biru berati (+) adanya pati kalau warna merah (+) glikogen. Uji Iodin merupakan metode pengujian untuk molekul polisakarida. Pati merupakan polisakarida yang mengandung dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Bila ditambahkan dengan sejumlah iodine, amilosa akan membentuk kompleks amilosa-iodine berwarna biru kehitaman, dengan cara iodin masuk ke dalam rongga –rongga molekul amilosa membentuk. Larutan amilosa memiliki viskositas yang tinggi dan relatif tidak stabil dibandingkan amilopektin (Jati, 2006). Hidrolisa Pati Secara Enzimatis Percobaan hidrolisa pati atau amilum merupakan proses pemecahan rantai molekul polimer menjadi molekul penyusunnya yang lebih sederhana. Pada reaksi hidrolisis pati dengan air, air akan menyerang pati pada ikatan α-1,4-glukosida menghasilkan dextrin, sirup atau glukosa tergantung pada derajat pemecahan rantai polisakarida dalam pati. Reaksi antara air dan pati ini berlangsung sangat lambat sehingga diperlukan bantuan katalisator untuk memperbesar kereaktifan air. Katalisator ini bisa berupa asam maupun enzim (Jayanti, 2011). Enzim amilase merupakan enzim yang mampu mengkatalis proses hidrolisa pati untuk menghasilkan molekul lebih sederhana seperti glukosa, maltosa, dan dekstrin. Penggunaan enzim amilase lebih disukai sebab ramah lingkungan, pemecahan yang terjadi lebih spesifik pada produk akhir. Aktivitas atau kinerja enzim amilase dipengaruhi oleh banyak faktor. Terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim yaitu pH, temperatur, konsentrasi enzim, dan konsentrasi substrat. Dalam proses hidrolisis, pati dipecah menjadi gula reduksi dengan menggunakan enzim α-amilase. Suhu dapat menentukan laju suatu reaksi. Pada reaksi yang melibatkan biokatalis, suhu juga dapat mempengaruhi kestabilan enzim yang merupakan suatu protein. Kenaikan suhu sampai sedikit di atas suhu optimumnya dapat menurunkan aktivitas enzim sedangkan suhu jauh di atas suhu optimumnya enzim akan mengalami denaturasi sehingga enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya (Nangin dan Sutrisno, 2015). Uji Benedict bertujuan untuk mengetahui adanya gula pereduksi dalam larutan sampel. Prinsip dari uji ini adalah gugus aldehid atau keton bebas pada gula reduksi yang terkandung dalam sampel mereduksi ion Cu2+ dari CuSO4.5H2O dalam suasana alkalis menjadi Cu+ yang mengendap menjadi Cu2O. Suasana alkalis diperoleh dari Na2CO3 dan Na sitrat yang terdapat pada reagen Benedict. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata tergantung pada konsentrasi gula reduksinya. semakin berwarna merah bata maka gula reduksinya semakin banyak (Kusbandari, 2015). Karbohidrat ada yang bersifat gula pereduksi dan bukan gula pereduksi. Sifat gula pereduksi ini disebabkan adanya gugus aldehid dan gugus keton yang bebas, sehingga dapat mereduksi ion-ion logam seperti tembaga (Cu) dan perak (Ag) dalam larutan basa. Pada saat yang bersamaan gula pereduksi akan teroksidasi, berfragmentasi dan berpolimerisasi dalam larutan Benedict. Gugus aldehid pada aldoheksosa mudah teroksidasi menjadi asam karboksilat pada pH netral oleh zat pengoksidasi atau enzim. Hidrolisa pati juga dapat diamati dengan penambahan iodium yang akan terbentuk kompleks pati dan iodium kompleks ini dapat mengendap. Uji iodin ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH pada aktivitas enzim amilase yang menurut literatur enzim ini stabil pada pH 5-8. Larutan pati ditambah dengan HCl 0,1% (pH = 1), larutan pati ditambah dengan asam asetat 0,1% (pH = 5), larutan pati ditambah dengan akuades (pH = 7), larutan pati ditambah dengan Na2CO3 0,1% (pH = 9), yang selanjutnya di masing-masing larutan dengan pH yang berbeda ditambahkan dengan iodium kemudian diamati perubahan warnanya. Dari hasil yang didapat dari praktikum pH 1 dan 5 berwarna hitam pekat, pH 7 warna kuning kecoklatan dan pH 9 warna kuning jingga. Hidrolisa pati dengan bantuan katalisator akan menghasilkan amilosa dan amilopektin. Iodium dan amilosa akan membentuk kompleks berwarna biru kehitaman sehingga pH 1 dan 5 menghasilkan hidrolisa yang maksimal. Pada pH 7 warna campuran memudar menjadi kuning kecoklatan dan pH 9 memudar menjadi kuning jingga. Memudarnya warna campuran adalah karena kadar amilosa yang terbentuk lebih sedikit akibat pengaruh pH yang semakin meningkat. Dalam metode ini, pH harus diperhatikan dengan cermat. Simpulan Pada praktikum biokimia terkait dengan hidrolisa pati dengan sampel pati 1% dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hidrolisa pati atau amilum merupakan proses pemecahan rantai molekul polimer menjadi molekul penyusunnya yang lebih sederhana. 2. Hidrolisa pati dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kimiawi menggunakan katalisator asam kuat dan secara enzimatis menggunakan katalisator amilase saliva. 3. Pada hidrolisa pati secara kimiawi prosesnya diamati dengan menggunakan uji benedict dan uji iodin. Hasil dari uji benedict adalah pati yang dihidrolisa merupakan karbohidrat dengan sifat bukan gula pereduksi yang ditandai dengan tidak terbentuknya endapan merah bata, sedangkan pada uji iodin didapatkan warna biru kehitaman yang berarti pati sudah terhidrolisa menjadi amilosa dan amilopektin. Warna biru kehitaman tersebut adalah karena reaksi kompleks antara iodin dengan amilosa. 4. Pada hidrolisa pati secara enzimatis prosesnya diamati dengan uji benedict dan uji iodin juga. Uji iodin dilakukan untuk melihat pengaruh pH terhadap aktivitas enzim amilase. Didapatkan bahwa peningkatan pH diatas 5 dapat menghambat aktivitas enzim amilase. Daftar Pustaka Chaplin, J.P. 2004, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada. Jati PW. 2006. Pengaruh waktu hidrolisis dan konsentrasi HCl terhadap nilai dextrose equivalent (DE) dan karakterisasi mutu pati termodifikasi dari pati tapioka dengan metode hidrolisis asam [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jayanti, Risha Tiara. 2011. Pengaruh Ph, Suhu Hidrolisis Enzim Α Amilase Dan Konsentrasi Ragi Roti Untuk Produksi Etanol Menggunakan Pati Bekatul. Skripsi. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Kusbandari, Aprilia. 2015. Analisis Kualitatif Kandungan Sakarida Dalam Tepung Dan Pati Umbi Ganyong (Canna edulis Ker.). Pharmaҫiana. Vol. 5, No. 1, 2015: 35-42 Nangin, Debora. Sutrisno, Aji. 2015. Enzim Amilase Pemecah Pati Mentah Dari Mikroba: Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 3 p.1032-1039. Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Purba, E. 2009, Hidrolisis Pati Ubi Kayu ( Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase, Jurnal Universitas Lampung, Lampung. Rapaille, A dan Vanhemelrijck, J. 1992, Modified Starch. Di dlam Imeson, A (ed.). Thickening and Gelling Agent for Food. London: Chapman and Hall. Richana, N. dan Suarni. 2011, Teknologi Pengolahan Jagung, Institut Pertanian Bogor. Sadikin. M. 2002, Biokimia Enzim, Widya Medika, Jakarta. Said, E. G, 1987, Biokonversi Penerapan Teknologi Fermentasi,Widyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Virlandia, F. 2008. Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) dengan metode Enzimatis.