Sabtu, 20 Januari 2018

SWAMEDIKASI NYERI

TUGAS KELOMPOK SWAMEDIKASI KASUS NYERI OLEH : KELAS B1A NI KETUT AYU PRISKA SARASWATI 162200013 NI KOMANG AYU DEWI PATNI 162200014 NI KOMANG HERNI SANDIARI 162200015 JURUSAN S1 FARMASI PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI 2017 BAB I PENDAHULUAN Obat menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Depkes RI, 2009). Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kesehatan, maka berkembangnya penyakit di masyarakat tidak dapat dielakkan lagi. Berkembangnya penyakit ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya. Berdasarkan pertimbangan efektif dan efesien tersebut maka dipilihlah swamedikasi sebagai alternatif. Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Sedangkan definisi swamedikasi menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas relatif aman digunakan untuk pengobatan sendiri (swamedikasi) (Depkes RI, 2007). Banyaknya obat-obatan yang dijual di pasaran memudahkan seseorang melakukan pengobatan sendiri terhadap keluhan penyakitnya, karena relatif lebih cepat, hemat biaya, dan praktis tanpa perlu periksa ke dokter. Keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Danang dan Aziz, 2014). Namun untuk melakukan pengobatan sendiri dibutuhkan informasi yang benar agar dapat dicapai mutu pengobatan sendiri yang baik, yaitu tersedianya obat yang cukup dengan informasi yang memadai akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada pengobatan sendiri dibutuhkan penggunaan obat yang tepat atau rasional. Penggunaan obat yang rasional adalah pasien menerima obat yang tepat dengan keadaan kliniknya, dalam dosis yang sesuai dengan keadaan individunya, pada waktu yang tepat dan dengan harga terjangkau bagi dia dan komunitasnya. Pengertian lain dari penggunaan obat yang rasional adalah suatu tindakan pengobatan terhadap suatu penyakit dan pemahaman aksi fisiologi yang benar dari penyakit. Kriteria pengobatan yang rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat tepat dosis, dan waspada efek samping (Wahyuningtyas, 2010). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Nyeri Definisi nyeri yang dapat diterima tetap menjadi sebuah teka-teki. Nyeri pada jaman dahulu dianggap sebagai hukuman dari para dewa. Kata pain (nyeri) tersebut berasal dari bahasa Latin poene dan bahasa Yunani poine, yang berarti "penalti" atau "hukuman". Aristoteles menganggap rasa sakit adalah sebagai sebuah perasaan dan mengklasifikasikannya sebagai gairah jiwa, dimana jantung adalah sumber atau pusat pengelolaan rasa sakit. Konsep Aristotelian ini didominasi selama 2.000 tahun, meskipun Descartes, Galen, dan Vesalius mendalilkan bahwa rasa sakit adalah sebuah sensasi di mana otak memerankan peranan penting. Pada abad ke-19, Mueller, Van Frey, dan Goldscheider menghipotesiskan konsep neuroreseptor, nociseptor, dan input sensoris. Teori-teori ini berkembang menjadi definisi rasa sakit pada saat ini, yakni: “pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial atau sesuatu yang dijelaskan dalam hal adanya kerusakan” (Dipiro, 2009). Selain itu, Morisson dan Bennet (2009) menambahkan bahwa terkadang nyeri merupakan tanda atau sinyal akan munculnya penyakit pada tubuh individu. Nyeri tersebut kemudian mendorong individu mencari bantuan medis untuk mengatasinya. Contoh : nyeri karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena sakit gigi, dan lain-lain. Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri tanpa menghilangkan kesadaran penggunanya (Depkes, 2007). 2.2. Epidemiologi Lima puluh juta orang Amerika sebagian atau seluruhnya cacat karena rasa sakit. Biaya nyeri tahunan untuk masyarakat A.S. dapat diperkirakan mencapai miliaran dolar. Dalam 1 tahun, sekitar 25 juta orang Amerika akan mengalami nyeri akut karena cedera atau pembedahan dan sepertiga orang Amerika akan mengalami nyeri kronis parah pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Angka-angka ini diperkirakan akan meningkat, karena semakin banyak orang Amerika bekerja di luar usia 60 tahun dan bertahan sampai usia 80an (Dipiro, 2009). Di Indonesia sendiri telah dilakukan penelitian multisenter di unit rawat jalan pada 14 rumah sakit pendidikan di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri pada bulan Mei 2002, didapatkan 4456 kasus nyeri yang merupakan 25% dari total kunjungan pada bulan tersebut. Jumlah penderita laki-laki sebanyak 2200 orang dan 2256 orang perempuan. Kasus nyeri kepala 35,86%, nyeri punggung bawah 18,3% dan nyeri neuropatik yang merupakan gabungan nyeri neuropatik diabetika, nyeri paska herpes, dan neuralgia trigeminal sebanyak 9,5% (Juwita, 2015). 2.3. Etiologi Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung syaraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain : a. Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, dan lain-lain. b. Proses infeksi atau peradangan (Depkes, 2007). 2.4. Patofisiologi Patofisiologi rasa sakit melibatkan rangkaian jaringan syaraf yang kompleks di otak yang ditindaklanjuti oleh rangsangan aferen untuk menghasilkan pengalaman yang kita kenal sebagai rasa sakit/nyeri. Pada nyeri akut, modulasi ini berumur pendek, namun dalam beberapa situasi perubahannya mungkin terjadi dan rasa sakit kronis dapat berkembang (Dipiro, 2009). Menurut Chapman (2004), nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu : a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi Yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor b. Nyeri neuropatik Yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada sistem saraf c. Nyeri idiopatik Yaitu nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan d. Nyeri psikologik Bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari 2.5. Klasifikasi Menurut Dipiro (2009), nyeri diklasifikasikan menjadi 3, yaitu : a. Nyeri Akut Rasa sakit akut bisa menjadi proses fisiologis yang berguna untuk memperingatkan individu tentang keadaan penyakit dan situasi yang berpotensi membahayakan. Sayangnya, nyeri parah, tak henti-hentinya, diobati, dan akut, bila obat tersebut keluar dari kegunaan biologisnya, dapat menghasilkan banyak efek buruk (misalnya, masalah psikologis). Nyeri akut biasanya bersifat nosiseptif, meski bisa bersifat neuropati, dengan hubungan yang relatif kuat dengan tingkat patologi. Penyebab umum nyeri akut meliputi operasi, penyakit akut, trauma, persalinan, dan prosedur medis. b. Nyeri Kronik Dalam kondisi normal, nyeri akut mereda dengan cepat saat proses penyembuhan menurunkan rangsangan penghilang rasa sakit; Namun, dalam beberapa kasus, rasa sakit terus berlanjut selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, menyebabkan keadaan nyeri kronis dengan ciri yang sangat berbeda dengan nyeri akut. Jenis rasa sakit ini bisa nosiseptif, neuropati / fungsional, atau keduanya. Subtipe meliputi: nyeri yang menetap di luar waktu penyembuhan normal untuk cedera akut (misalnya sindrom nyeri regional yang kompleks), nyeri yang berhubungan dengan penyakit kronis (misalnya nyeri sekunder akibat osteoarthritis), nyeri tanpa penyebab organik yang dapat diidentifikasi (misalnya fibromyalgia) , dan tipe keempat yang diyakini oleh banyak ahli menjamin klasifikasi diskrit, rasa sakit yang terkait dengan kanker. Gambar 2.1. Karakteristik Nyeri Akut & Kronis c. Nyeri Kanker Nyeri yang terkait dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa seringkali disebut nyeri ganas atau disebut nyeri pada kanker. Jenis rasa sakit ini mencakup komponen kronis dan akut dan sering memiliki beberapa etiologi. Rasa sakit disebabkan oleh penyakit itu sendiri (mis., Invasi tumor, penyumbatan organ), pengobatan (mis., Kemoterapi, radiasi, sayatan alami), atau prosedur diagnostik (mis., Biopsi). 2.6. Manifestasi Klinik 2.7. Tabel 1. Presentasi Klinis pada Nyeri (Dipiro, 2009) Presentasi Klinis Akut Kronis General Sering terlihat menderita (mis., Trauma) Terlihat tidak memiliki penderitaan yang nyata. Tanda-tanda - Hipertensi, takikardia, diaphoresis, mydriasis, dan pucat, tapi tanda-tanda ini tidak diagnostik. - Dalam beberapa kasus tidak ada tanda yang jelas. - Kondisi komorbid biasanya tidak ada. - Hasil pengobatan umumnya dapat diprediksi. - Hipertensi, takikardia, diaphoresis, mydriasis, dan pucat jarang terjadi. - Pada kebanyakan kasus TIDAK ada tanda yang jelas. - Kondisi komorbid sering muncul (misalnya, masalah tidur, depresi, masalah hubungan). - Hasil pengobatan seringkali tidak dapat diprediksi Test Laboratorium - Rasa nyeri selalu subjektif. - Tidak ada tes laboratorium khusus untuk nyeri. - Nyeri paling baik didiagnosis berdasarkan deskripsi dan riwayat pasien - Rasa sakit selalu subjektif. - Nyeri paling baik didiagnosis berdasarkan deskripsi dan riwayat pasien. - Tidak ada tes laboratorium khusus untuk rasa sakit; Namun, bukti riwayat dan / atau diagnostik trauma masa lalu (misalnya, tomografi komersil) atau keadaan penyakit saat ini (mis., autoantibodi) dapat membantu dalam mendiagnosis etiologi. 2.8. Penilaian Nyeri Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan skala assessment nyeri tunggal atau multidimensi (Yudianta et al, 2015). a. Uni-dimensional: 1. Hanya mengukur intensitas nyeri 2. Cocok (appropriate) untuk nyeri akut 3. Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi outcome pemberian analgetik 4. Skala assessment nyeri uni-dimensional ini meliputi : Visual Analog Scale (VAS) Verbal Rating Scale (VRS) Numeric Rating Scale (NRS) Wong Baker Pain Rating Scale b. Multi-Dimensional 1. Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness) nyeri 2. Diaplikasikan untuk nyeri kronis 3. Dapat dipakai untuk outcome assessment klinis 4. Skala multi-dimensional ini meliputi : McGill Pain Questionnaire (MPQ), The Brief Pain Inventory (BPI), Memorial Pain Assessment Card dan Catatan harian nyeri (Pain diary). 2.9. Penanganan Nyeri a. Non-Farmakologi 1. Terapi Stimulus Stimulasi saraf listrik transkutaneous (TENS) telah digunakan untuk mengatasi nyeri akut dan kronis (misalnya bedah, traumatis, low back, arthritis, neuropati, fibromyalgia, dan nyeri wajah mulut) . Namun, penelitian ini kontradiktif dan gagal menunjukkan rasa sakit yang mereda. Akibatnya, teknik ini belum dapat diterima secara luas. 2. Intervensi Psikologis Meskipun aspek kognitif, perilaku, dan aspek sosial dari rasa sakit sudah kuat, intervensi psikologis untuk pengobatan nyeri akut tidak digunakan secara luas. Intervensi sederhana (mis., Informasi pendahuluan tentang sensasi yang diharapkan setelah prosedur tertentu) mengurangi kesusahan pasien dan sangat mengurangi penderitaan postprocedure. Teknik psikologis sukses lainnya, termasuk latihan relaksasi, pencitraan, dan hipnosis, telah terbukti efektif dalam pengelolaan nyeri postprocedure dan rasa sakit yang berhubungan dengan kanker. Bukti moderat menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif dan biofeedback juga bermanfaat untuk alat nonfarmakologis dalam mengelola rasa sakit kronis (Dipiro, 2009). b. Farmakologi WHO Pain Ladder dikembangkan pada tahun 1986 sebagai model konseptual untuk memandu pengelolaan nyeri kanker. Sekarang ada konsensus di seluruh dunia yang mempromosikan penggunaannya untuk pengelolaan medis dari semua rasa sakit yang terkait dengan penyakit serius, termasuk rasa sakit akibat luka (WHO, 2011). Gambar 2.2. WHO Ladder pain Analgesia harus dimulai dengan agen analgesik yang paling efektif yang memiliki efek samping paling sedikit. Acetaminophen, asam asetilsalisilat (aspirin), dan NSAID lebih sering disukai daripada opiat dalam pengobatan nyeri ringan sampai sedang (Dipiro, 2009). Obat yang dapat digunakan pada swamedikasi nyeri adalah (Depkes, 2007) : 1. Ibuprofen a. Kegunaan obat Menekan rasa nyeri dan radang, misalnya dismenorea primer (nyeri haid), sakit gigi, sakit kepala, paska operasi, nyeri tulang, nyeri sendi, pegal linu dan terkilir. b. Hal yang harus diperhatikan • Gunakan obat dengan dosis tepat. • Hati-hati untuk penderita gangguan fungsi hati, ginjal, gagal jantung, asma dan bronkhospasmus atau konsultasikan ke dokter atau Apoteker. • Hati-hati untuk penderita yang menggunakan obat hipoglisemi, metotreksat, urikosurik, kumarin, antikoagulan, kortiko-steroid, penisilin dan vitamin C atau minta petunjuk dokter. • Jangan minum obat ini bersama dengan alkohol karena meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna. c. Kontra Indikasi Obat tidak boleh digunakan pada: • Penderita tukak lambung dan duodenum (ulkus peptikum) aktif. • Penderita alergi terhadap asetosal dan ibuprofen. • Penderita polip hidung (pertumbuhan jaringan epitel berbentuk tonjolan pada hidung) • Kehamilan tiga bulan terakhir d. Efek Samping • Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, diare, konstipasi (sembelit/susah buang air besar), nyeri lambung sampai pendarahan. • Ruam kulit, bronkhospasmus, trombositopenia. • Penurunan ketajaman penglihatan dan sembuh bila obat dihentikan. • Gangguan fungsi hati. • Reaksi alergi dengan atau tanpa syok anafilaksi. • Anemia kekurangan zat besi. e. Bentuk sediaan • Tablet 200 mg • Tablet 400 mg f. Aturan pemakaian • Dewasa : 1 tablet 200 mg, 2 – 4 kali sehari,. Diminum setelah makan • Anak : 1 – 2 tahun : ¼ tablet 200 mg, 3 – 4 kali sehari 3 – 7 tahun : ½ tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari 8 – 12 tahun : 1 tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari Tidak boleh diberikan untuk anak yang beratnya kurang dari 7 kg. 2. Asetosal (Aspirin) a. Kegunaan obat Mengurangi rasa sakit, menurunkan demam, antiradang b. Hal yang harus diperhatikan • Aturan pemakaian harus tepat, diminum setelah makan atau bersama makanan untuk mencegah nyeri dan perdarahan lambung. • Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita gangguan fungsi ginjal atau hati, ibu hamil, ibu menyusui dan dehidrasi. • Jangan diminum bersama dengan minuman beralkohol karena dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung. • Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita yang menggunakan obat hipoglikemik, metotreksat, urikosurik, heparin, kumarin, antikoagulan, kortikosteroid, fluprofen, penisilin dan vitamin C. c. Kontra Indikasi Tidak boleh digunakan pada: • Penderita alergi termasuk asma. • Tukak lambung (maag) dan sering perdarahan di bawah kulit. • Penderita hemofilia dan trombositopenia. d. Efek samping • Nyeri lambung, mual, muntah. • Pemakaian dalam waktu lama dapat menimbulkan tukak dan perdarahan lambung. e. Bentuk Sediaan Tablet 100 mg Tablet 500 mg. f. Aturan pemakaian Dewasa : 500 mg setiap 4 jam (maksimal selama 4 hari) Anak : 2 – 3 tahun : ½ - 1 ½ tablet 100 mg, setiap 4 jam 4 – 5 tahun : 1 ½ - 2 tablet 100 mg, setiap 4 jam 6 – 8 tahun : ½ - ¾ tablet 500 mg, setiap 4 jam 9 – 11 tahun : ¾ - 1 tablet 500 mg, setiap 4 jam > 11 tahun : 1 tablet 500 mg, setiap 4 jam 3. Parasetamol a. Kegunaan obat Menurunkan demam, mengurangi rasa sakit. b. Hal yang harus diperhatikan • Dosis harus tepat, tidak berlebihan, bila dosis berlebihan dapat menimbulkan gangguan fungsi hati dan ginjal. • Sebaiknya diminum setelah makan • Hindari penggunaan campuran obat demam lain karena dapat menimbulkan overdosis. • Hindari penggunaan bersama dengan alkohol karena meningkatkan risiko gangguan fungsi hati. • Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita gagal ginjal. c. Kontra Indikasi Obat ini tidak boleh digunakan pada: penderita gangguan fungsi hati, penderita yang alergi terhadap obat ini, pecandu alkohol. d. Bentuk sediaan Tablet 100 mg Tablet 500 mg Sirup 120 mg/5ml e. Aturan pemakaian Dewasa : 1 tablet (500 mg) 3 – 4 kali sehari, (setiap 4 – 6 jam) Anak : 0 – 1 tahun : ½ - 1 sendok teh sirup, 3–4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam) 1 – 5 tahun : 1 – 1 ½ sendok teh sirup, 3 – 4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam) 6-12 tahun : ½ - 1 tablet (250-500 mg), 3 – 4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam) Catatan : • Ibuprofen memiliki efek terapi antiradang lebih tinggi dibandingkan dengan efek anti demamnya. • Asetosal dan Parasetamol efek terapi anti demamnya lebih tinggi dibandingkan efek antinyeri dan anti radangnya. 4. Asam Mefenamat a. Kegunaan obat Nyeri akut dan dismenore b. Hal yang Perlu Diperhatikan • Hati-hati pada pasien dengan anemia, bronkopasme, penyakit jantung, CHF, HTN, SLE, retensi cairan, gangguan hepatik/renal, pendarahaan diatesis. • Memiliki riwayat: peptic ulcer, pendarahan GI, penyakit upper GI • Jika diare berat terjadi, kurangi dosis atau hentikan obat sementara • Resiko reaksi kulit yang serius • Risiko Gagal Jantung (HF) c. Kontra Indikasi Hipersensitivitas, alergi ASA, riwayat triad aspirin, ulkus / radang saluran pencernaan, CABG, ginjal dz, akhir kehamilan (dapat menyebabkan penutupan duktus arteriosus dini). d. Bentuk Sediaan Tablet 500mg (Maksimal 20 tablet, Sirup 1 botol) e. Aturan Pemakaian Dewasa : Nyeri akut Awal 500 mg PO sekali, kemudian 250 mg PO q6hr PRN biasanya tidak sampai 7 hari. Dysmenore primer Dewasa : Awal 500 mg PO sekali, kemudian 250 mg PO q6hr PRN biasanya tidak melebihi 3 hari. Anak : Nyeri akut <14 tahun: Tidak dianjurkan ≥14 tahun: awal 500 mg PO sekali, kemudian 250 mg PO q6hr PRN biasanya tidak sampai 7 hari 5. Diklofenak (obat luar) a. Kegunaan Obat Keratosis Aktinik, OA, nyeri akut. b. Hal yang Perlu Diperhatikan • Hindari paparan sinar matahari • Hindari penggunaan pada luka kulit terbuka, lesi yang terinfeksi, atau dermatitis eksfoliatif • Hindari kontak dengan mata c. Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap diklofenak, aspirin NSAID lainnya atau komposisi lain dari periode perioperatif CABG d. Bentuk Sediaan Gel : 1% (Voltaren) 3% (Solaraze) 6. Natrium Diklofenak Tablet a. Kegunaan Obat Nyeri ringan hingga sedang, dismenore, RA, OA. b. Hal yang Perlu Diperhatikan • Hati-hati pada pasien dengan bronkospasme, penyakit jantung, CHF, porfiria hepatik, hipertensi, retensi cairan, gangguan ginjal berat, perokok, lupus eritematosus sistemik. • Agregasi trombosit dan adhesi dapat dikurangi; bisa memperpanjang waktu perdarahan. • Hati-hati dengan dislasi darah atau depresi sumsum tulang; juga dengan trombositopenia, agranulositosis, dan anemia aplastik. • Resiko reaksi kulit yang serius, termasuk sindrom Stevens Johnson dan enterokolitis nekrosis. c. Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap diklofenak, riwayat triad aspirin, pengobatan nyeri perioperatif yang terkait dengan CABG; pendarahan gastrointestinal aktif. d. Bentuk Sediaan Tablet 50mg (sebagai kalium), tablet lepas lambat 25mg, 50mg, dan 75 mg (sebagai natrium). e. Aturan Pemakaian Nyeri ringan hingga sedang: Immediate-release tab (Cataflam): 100 mg PO sekali sehari, kemudian 50 mg PO q8hr PRN. BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN 3.1 Kasus 1. Seorang ibu berumur 40 tahun datang ke Apotek Anugrah dengan mengeluh nyeri pada bagian gigi dan gusi. Dirasakan sangat nyeri dan sakit bila mengunyah makanan dan meminum minuman yang dingin Bagaimana pengobatannya? 2. Seorang wanita berumur 20 tahun datang ke apotek Kimia Farma dengan keluhan nyeri dibagian perut, berhubung wanita ini sedang mengalami menstruasi dan mengeluh rasa nyeri di bagian perut. Bagaimana pengobatan? 3. Seorang pria datang ke Apotek Singgani dengan keluhan nyeri pada bagian pinggang. Rasa nyeri timbul setelah duduk terlalu lama kemudian berdiri dan terasa sangat nyeri pada bagian pinggang. Bagaimana pengobatannya? 3.2 Pembahasan 1. Seorang ibu berumur 40 tahun datang ke Apotek Anugrah dengan mengeluh nyeri pada bagian gigi dan gusi. Dirasakan sangat nyeri dan sakit bila mengunyah makanan dan meminum minuman yang dingin Bagaimana pengobatannya? Pada kasus ini obat yang kami sarankan adalah ibu profen dimana obat ini merupakan obat OWA 2, jadi obat ini bisa diberikan untuk swamedikasi. Terapi farmakologi : Ibuprofen Indikasi : Menekan rasa nyeri dan radang, misalnya dismenorea primer (nyeri haid), sakit gigi, sakit kepala, paska operasi, nyeri tulang, nyeri sendi, pegal linu dan terkilir. Dosis : Dewasa 1 tablet 200 mg, 2 – 4 kali sehari,. Diminum setelah makan Efek samping obat :Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, diare, konstipasi (sembelit/susah buang air besar), nyeri lambung sampai pendarahan, ruam kulit, bronkhospasmus, trombositopenia Kontraindikasi :Penderita tukak lambung dan duodenum (ulkupeptikum) aktif penderita alergi terhadap ibuprofen penderita polip hidung (pertumbuhan jaringan epitel berbentuk tonjolan pada hidung), kehamilan tiga bulan terakhir ( Depkes RI, 2007) Terapi non farmakologi: 1. Hindari makanan yang manis. Makanan yang manis seperti tebu, gula-gula, kue kering yang manis, teh atau kopi yang bergula dapat merusak gigi dengan cepat. 2. Menyikat gigi dengan baik setiap hari. Segeralah menyikat gigi setelah makan sesuatu yang manis. 3. Hindari merokok. 4. Mengonsumsi minuman beralkohol tidak dianjurkan karena dapat merusak gigi dan gusi. 5. Menggunakan pasta gigi seperti sensodyne untuk menghilangkan nyeri 2. Seorang wanita berumur 20 tahun datang ke apotek Kimia Farma dengan keluhan nyeri dibagian perut, berhubung wanita ini sedang mengalami menstruasi dan mengeluh rasa nyeri di bagian perut. Bagaimana pengobatan? Obat yang kami sarankan adalah asam mefenamat 500 mg, dimana asam mefenamat termasuk OWA 2, Terapi farmakalogi : asam mefenamat 500 mg Indikasi :Untuk meringankan nyeri gigi, nyeri menstruasi, nyeri otot atau sendi Dosis :3x1 sehari 500 mg Efek samping : Nyeri ulu hati, gangguan pencernaan, mual, muntah, sakit kepala, hilang nafsu makan Cara pemakaian : Diminum setelah makan Kontraindikasi : Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma, dan hipersensitivitas terhadap asam mefenamat Terapi non farmakologi 1. Kompres hangat dibagian perut dengan menggunakan handuk panas atau botol air panas pada perut atau punggung bawah. 2. Istirahat yang cukup dengan tidur siang 1 sampai 2 jam sehari 3. Olahraga yang teratur 4. Minum jamu seperti kiranti untuk menghilangkan rasa sakit dan memperlancar menstruasi 3.Seorang pria datang ke Apotek Singgani dengan keluhan nyeri pada bagian pinggang. Rasa nyeri timbul setelah duduk terlalu lama kemudian berdiri dan terasa sangat nyeri pada bagian pinggang. Bagaimana pengobatannya? Obat yang kami sarankan adalah natrium diclofenak Terapi farmakologi : Natrium diclofenak 50 mg Indikasi :Membantu meringankan nyeri, peradangan, pembengkakan, remathoid artitris, osteoartritis Dosis : Dosis maksimal 100 mg perhari Dosis awal 150 mg sehari pada hari pertama Efek samping obat : Nyeri/kram perut, sakit kepala, diare, tukak lambung Kontraindikasi : Penderita hipersensitif terhadap diclofenak, penderita tukak lambung Atau bisa menggunakan pemakaian luar seperti counterpain path Terapi non farmakologi 1. Dikompres bagian yang sakit menggunakan air hangat 2. Jangan duduk terlalu lama 3. Melakukan yoga dan meditasi bisa untuk menghilangkan nyeri 4. Bisa melakukan pengobatan akupuntur 5. Relaksasi atau bersantai bisa untuk mengurangi dan mengatasi sakit pinggang KESIMPULAN Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat- obatan untuk mengobati nyeri adalah obat golongan NSAID. Pada kasus nyeri ini obat yang kami berikan untuk swamedikasi adalah pada kasus pertama kami berikan ibuprofen, kasus kedua kami berikan asam mefenamat dan kasus ketiga kami berikan natrium diclofenak. DAFTAR PUSTAKA Chapman CR. Psychological Aspects of Pain : A Consciousness Studies Perspective – in the THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN. Editor. Pappagallo M. McGraw Hill. 2004 p156-9. Danang Yulianto, Aziz Ikhsanudin. 2014. Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Orang Tua Terhadap Swamedikasi Obat Demam Pada Anak-Anak. Jurnal Media Farmasi. Volume 2. Page: 221-231. Departemen Kesehatan RI. 2009.Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009. Jakarta. Available at: http://www.depkes.go.id/resources/download/general/UU%20Nomor%2036%20Tahun2%20009%20tentang%20Kesehatan.pdf Depkes RI, 2007, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat bebas terbatas, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan, Jakarta Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York. FIP. 1999. Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation and The World Self-Medication Industry: Responsible Self-Medication, FIP & WSMI. Available at: https://www.fip.org/www/uploads/database_file.php?id=241&table_id ISO, 2014, Spesialite Obat Indonesia , Volume 48, PT. ISFI, Jakarta Morrison, V. & Bennet, P. 2009. An Introduction to Health Psychology (2nd ed.). Bilboa, Spain: Pearson Education Limited. Sandra Juwita Wahyuningtyas. 2015. Pengaruh Derajat Depresi Dengan Intensitas Nyeri Kronik (Studi pada Pasien Rawat Jalan RSUP Dr. Kariadi Semarang). Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Wahyuningtyas Faramita. 2010. Gambaran Swamedikasi Terhadap Influenza Pada Masyarakat Di Kabupaten Sukoharjo. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. WHO Pain Ladder with Pain Management Guidelines. 2011. Adapted from a CarePartners/ ET NOW form with permission 2010. Appropriate credit or citation must appear on all copied materials WHO. 1998. The Role of The Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. The Hague. The Netherlands. Available at: http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/whozip32e/whozip32e.pdf Yudianta et al. 2015. Assessment Nyeri. Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

I. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. A. Epidemiologi TB Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “Global Emergency”. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga/(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. B. Etiologi TB Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). C. Patofisiologi TB Tuberkulosisadalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. D. Klasifikasi TB  Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) . berdasarkan hasil pemeriksaan dahak TB paru dapat di kelompokkan menjadi 2 yaitu TB paru BTA (+) dan TB paru BTA (-).  Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. E. Diagnosis TB Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. II. Pemeriksaan Laboratorium A. Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam, menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasa l dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut. Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2 kali positif, 1 kali negatif →Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif →ulang BTA 3 kali kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif →Mikroskopik positif bila 3 kali negatif →Mikroskopik negatif Gambar 1. Pemeriksaan Basil Tahan Asam Positif B. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambar 2. Pemeriksaan Rontgen Thorax C. Pemeriksaan Penunjang Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.  Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Gambar 3. Mekanisme Kerja PCR  Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. Gambar 4. Teknik Analisa ELISA  Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.  Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.  ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Gambar 5. Komponen ICT  Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.  Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. Gambar 6. Cara Pengambilan Sampel  Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru. Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan. Gambar 7. Mekanisme Biopsi  Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik. Gambar 8. Hasil Laju Endap Darah  Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dariuji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis). Gambar 9. Uji Tuberkulin  Uji Adenosine Deaminase / ADA test Adenosine Deaminase adalah enzim yang mengubah adenosin menjadi inosine dan deoxyadenosine menjadi deoxyinosine pada jalur katabolisme purin. ADA berperan pada proliferasi dan differensiasi limfosit, terutama lomfosit T, dan juga berperan pada pematangan/ maturasi monosit dan mengubahnya menjadi makrofag. Konsentrasi ADA serum meningkat pada berbagai penyakit dimana imunitas seluler distimulasi, sehingga ADA merupakan indikator imunitas selular yang aktif. Kondisi yang memicu sistem imun seperti infeksi Mycobacterium tuberculosisdapat meningkatkan jumlah produksi ADA di area infeksi. Kadar ADA meningkat pada tuberkulosis karena stimulasi limfosit T leh antigen-antigen mikobakteria. Pemeriksaan ada ADA memiliki sensitivitas 90-92% dan spesifitas 90-92% untuk diagnosis TB pleura. Selain pada TB pleura, ADA juga dilaporkan bermamfaat dalam TB Peritoneal (cairan asites), TB pericarditis (cairan pericardial), dan TB meningitis (CSF). Nilai normal: 4 –20 U/L, Pleuritis TB > 40 U/L, Meningitis TB > 8 U/L.  Interferon Gamma Release Assay (IGRA) Pemeriksaan IGRA adalah pemeriksaan darah yang dapat mendeteksi infeksi TB di dalam tubuh. IGRA bekerja dengan mengukur respons imunitas selular atau sel T terhadap infeksi TB. Hasilnya pun spesifik sebab sensitivitasnya tinggi. Sel T dalam individu yang terinfeksi TB akan diaktivasi sebagai respons terhadap sensitisasi antigen berupa peptida spesifik Mycobacterium Tuberculosis, yaitu Early Secretory Antigenic Target-6 (ESAT-6) dan Culture Filtrate Protein-10 (CFP-10) yang ada di dalam sistem reaksi. Sel T akan menghasilkan Interferon Gamma(IFN-γ) yang diukur dalam pemeriksaan. Gambar 10. Mekanisme IGRA III. Daftar Pustaka Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Available at: http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf Werdhani, Retno Asti. 2012. Patofisiologi, Diagnosis Dan Klasifikasi Tuberkulosis. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Available at: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Available at: http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf